Lost Together

Pasar terapung di kalimantan selatan

‘Cause you are not alone

I’m always there with you

And we’ll get lost together 

***

Sepertinya takdir benar-benar ingin kita bersama sampai-sampai berbuat sejauh ini untuk menyatakannya.

“Apa kabar?” itu pertanyaan yang pertama kali kamu kemukakan saat tanpa sengaja kita bersisian di barisan turis-turis yang ingin menaiki kapal itu.

Untuk beberapa saat aku hanya terdiam, nyaris tak mengenalimu karena penerangan yang tak begitu memadai, tapi aku tahu itu kamu—aku hafal posturmu.

“Masih gini-gini aja,” jawabku dingin, tak berniat menyambung balasan.

“Masih jadi penulis freelance di blog sendiri? Kuliah kamu gimana?” tanyamu lagi, seakan tak menghiraukan jawabanku yang tak bersahabat.

“Itu urusanku,” sahutku ketus, kemudian menyambut tangan awak kapal wisata yang ingin membantuku naik.

“Kamu  lagi writer’s block ya?” kamu menyusul, lantas duduk di sebelahku sembari berhati-hati meletakan kamera SLR yang sedari tadi kamu genggam di dekat kakimu.

Aku diam saja, tak membenarkan jawabanmu meski kenyataannya memang begitu. Sudah nyaris sebulan blog-ku kosong, tak ada yang kutulis di sana. Rasanya agak stres melihat statistik blog yang kian hari kian menurun. Tulisanku memang belum pantas diterbitkan di mana pun selain di blog pribadi, jadi mendapati sepuluh visitor per hari itu merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri buatku.

“Aku sering baca blog kamu.”

Kali ini aku tak mampu mengabaikan perkataanmu. Dahiku berkerut dalam dan kutatap wajahmu tak percaya. Bagaimana mungkin kamu mau membaca barisan kata yang selalu kamu cela sebagai hal-hal imajiner namun kasatmata itu. Bagimu sesuatu yang realistik adalah seni yang sesungguhnya, karena lembar-lembar waktu yang dibekukan lebih berarti daripada  sekedar kata-kata yang belum tentu kebenarannya.

“Tulisan kamu tambah bagus aja, Fel. Dari dulu memang sudah bagus, tapi sekarang lebih bagus lagi,” imbuhmu, sembari membalas tatapan wajahku dengan senyum jenaka.

Aku mendengus seraya membuang muka, berusaha menyembunyikan semu merah muda di wajahku. Sementara dadaku berdebar, membuatku tersadar ternyata satu tahun tak bersetatap cukup membuatku merindukan senyumanmu itu.

“Aku baca tulisan terakhirmu tentang dua orang yang tersesat di jalan yang mereka pilih masing-masing.” Kamu masih mengoceh, tetap tak berubah dari dirimu yang kukuh dengan prinsip ‘berbicara adalah bernapas’.

“Mereka idiot,” makimu sembari mengangkat kamera SLR ke depan wajah dan membidik turis-turis yang tengah bertransaksi  di sekitar kita. Kudengar shutter berbunyi, dan beberapa gambar diambil. “Tidak seharusnya mereka berpisah hanya karena enggak tahan LDR-an, padahal mereka masih saling cinta.”

Aku tak menanggapi ocehanmu, dan sepertinya kamu pun tak begitu ingin aku membahasnya. Hingga keheningan menyergap kita, dan hal itu membuatku mengalihkan perhatian ke sekelilingku yang sedari tadi terabaikan karena hadirmu.

Ah, mentari belum menyingsing di balik tembok-tembok beton kota Banjarmasin, tapi aroma embun pagi dan suara deru kelotok[1] juga dayung jukung[2] telah memenuhi permukaan sungai Barito. Langit yang berwarna biru tua juga sama sekali tak membantu penglihatan, hingga para pemilik kapal terpaksa memasang lampu-lampu minyak mereka untuk membantu transaksi berjualan mereka.

Kulirik sekilas ke arah samping, beberapa turis yang berada dalam satu kapal wisata denganku tengah asyik membeli beberapa kue dan panganan khas Banjarmasin, berbekal Bahasa Indonesia seadaanya dan ditambah bahasa tubuh, lima potong kue cincin dan seloyang bingka telah berpindah tangan pada mereka. Aku tersenyum geli, membayangkan jika aku menjadi si penjual, pasti begitu kelabakan.

Jepreeet!

Aku terkesiap dan menoleh cepat ke arah kamu. Lagi-lagi… kebiasaan!

“Kamu cantik kalau lagi senyum, Fel, serius,” katamu seraya tertawa sementara aku hanya merengut dan kembali membuang muka.

“Mau ke buritan?” ajakmu. “Sebentar lagi matahari terbit, emang enggak sekeren di pantai sih, tapi cukup memanjakan mata fotografer pengangguran kayak aku.”

Kamu terkekeh, lalu tanpa mendengar jawabanku, kamu pun menyeretku ke buritan kapal. Udara pagi langsung menampar tubuhku, dan dengan segera aku merapatkan jaket denim yang tengah kukenakan.

Terdengar suara shutter ditekan beberapa kali, dan aku menikmati ekspresi wajahmu sembari menghirup dalam-dalam embun yang mengambang di udara. Entah, aku harus bersyukur atau tidak dengan pertemuan kita. Rasanya… perasaanku jadi jauh lebih baik saat mendapati dirimu kembali eksis di hidupku.

“Tulisan terakhir di blog kamu…” tiba-tiba saja kamu berbalik dan menatapku; wajahmu terlihat serius dan hal itu membuatku gugup,  ”itu kita ‘kan?”

 Aku kembali membuang muka; selalu begini setiap kali tak ingin membahas sesuatu, dan kamu tahu itu.

“Kita harus bicarakan ini, Felicia,” bujukmu. “Aku tahu kamu masih cinta aku,” sambungmu penuh percaya diri karena kamu tahu itu benar adanya; kamu sudah stalking blog aku.

“Dan aku juga masih cinta kamu.”

Aku terperanjat mendengar perkataanmu, tapi dengan cepat kukendalikan emosi dan memberanikan diri menatap wajahmu.

“Enggak bakal ada bedanya, Di. Kamu bakal tetap jadi Abdiguna Perwira si Fotografer Profesional yang suka melalang buana dan aku bakal tetap jadi mahasiswi biasa yang menghabiskan waktu di balik blog yang tak terkenal,” aku berusaha melawan takdir, tapi nada suara yang bergetar menghancurkan segalanya. “Enggak ada bedanya, Di,” desisku pasrah; gagal melawan.

“Kalau enggak ada bedanya kenapa kita enggak jalani lagi aja?” aku terkesiap, menatapmu heran. “Kamu bilang kita sama-sama tersesat, lantas, kenapa kita enggak rujuk? Toh kita bakal tetap tersesat ‘kan? Tapi setidaknya…” kamu melebarkan senyummu dan menatapku dengan kesungguhan yang nyata, “kita tersesat bersama-sama. Hehehe.”

Aku menahan napas dalam lantas membuang muka jauh-jauh dari cengiranmu, berusaha keras menahan tangis yang nyaris menetes karena terlalu bahagia. Aku tak sanggup berkata-kata lagi, sudah lelah melawan takdir. Dan kini kubiarkan tangan kokohmu merengkuh tubuhku ke dalam pelukan yang pada kenyataannya kurindukan di setiap kata-kata yang tertoreh di blog tak terkenal itu.

 

‘Cause you are not alone

I’m always there with you

And we’ll get lost together


[1] Perahu kecil yang menggunakan tenaga mesin sebagai tenaga penggerak

[2] Perahu kecil yang biasanya hanya cukup untuk 2-3 orang dan masih menggunakan tenaga manual/didayung

A/N:

Pertama-tama saya mau minta maaf ke Kak Teguh karena baru sekarang ngumpulin tugasnya. Sebenarnya leptop saya cepet selesainya, cuman saat dalam proses pengerjaannya saya benar-benar sedang mengalami Writer’s Block yang sangat akut terhadap tulisan ini, sampai-sampai enggak bisa nulis sama sekali. Akhirnya saya memutuskan untuk menulis ulang tulisan ini dan akhirnya selesai dalam satu hari (suara hati: ALAH! bilang aja lu sebenarnya males, Dict! Sok-sokan bilang writer’s block segala) Pokoknya saya minta maaf Kak Teguh. Tugas-tugas lainnya saya usahakan cepat terselesaikan.

Kemudian untuk isi dari tulisan ini, errr, tampaknya ini sangat curcol dan narsis ya? Wakakaka. Tapi ya sudahlah, aku sangat menikmati menulis tulisan ini, meskipun sempat kehujanan tadi. Tapi tetap tak melunjutkan niatku untuk menulis! (mandi pake minya kayu putih soalnya, hahaha). Terima kasih telah membaca! Semoga Anda menyukainya!

(photo taken from: http://www.shnews.co/diafragma-37-pasar-terapung-lok-baintan-.html)

31 respons untuk ‘Lost Together

  1. Sweet 🙂
    Latarnya.. Salah satu tempat unik menurutku xD keren.. Ditambah setting waktunya, gambaran suasananya.. d(-_-)b *sip*
    Wkkww xD
    Ceritanya dan bahasanya ringan, enak dibaca. Sweet lah. Kapan ngalamin kayak gini *inget udah mau taun baru dan masih jomblo*.

    Emm.. Aku rasa aku jd pengen bikang xP

    1. Emang Tam pernah ke pasar terapung? Banyak loh temen2 omma yang lahir di Banjarmasin, tapi enggak pernah sekali pun ke sana… –___–” Omma juga sekali aja sih. Hahaha.

      Omma malah mikir, di mana bisa beli kue cincin dan bingka di sini…. Laper tam, Laper…hahaha.

      Terima kasih sudah komentar ya, sering-sering main kemari!

  2. Jangan minta maaf. Hehe. 😀
    Well. Ditunggu ya lanjutan PR yang lain, dan jangan lupa jurnalnya lho. 😉

    Anyhow, this is great as always. Keep it up. 😉

      1. Gak boleh begitu lho! You are great by your own way! We are, too. 😀

        Lagi selesain tulisan yang mana kalau skrg de?

      2. Alusi, Kak, saya nulis dua kali nih. Writer’s blocknya enggak sembuh-sembuh. Jadi mesti daur ulang gini. Duet, semesta rasa, sama jurnal belum kegawe. Duh, maaf ya kak, kecepatan menulis saya setara sama siput yang lagi keseleo. -__-“

  3. Jadi inget suasana pelabuhan Muara Angke waktu mau ke Pulau Panggang awal bulan ini. Andaikan saat itu kejadiannya aku ketemu sama seseorang yang entah-kemana-sudah-lebih-dari-empat-tahun-hilang, kayanya aku bakal mikir kamu cenayang karena terlalu mirip ceritanya hahaha untungnya gak. *kok curcol?*

    Ide ceritanya oke banget. Terus cara kamu nyeritain juga sempurna di mataku. Keren. Tiba-tiba pengen dengerin Lost-nya Michael Buble *ngobok playlist*

    1. Wah, semoga ingatannya yang baik-baik dan enggak bikin sedih, hehehehe. Kebetulan banget kalau gitu ya? Hahaha.

      Terima kasih sudah mau membaca dan menjejak kata ya Kak, sering-sering kemari! 😀

    1. Hihihi, sesekali mampirlah ke Kalimantan Kak! Di sini banyak tempat-tempat bagus yang nyaris diabaikan bahkan oleh penduduk Kalimantan sendiri! 😀

      Terima kasih sudah membaca! 😀

  4. Nggak mau komentar macam-macam. Jujur aku menikmati banget tulisan kakak yang ini, sampai aku nulis komentar ini juga masih kebawa suasana. Sweet. Oke, ini salah satu cerita favorit aku! Semangat terus Kak!

    1. Wah, terima kasih ya sudah bikin ini cerita yang di-favorite-in jujur, aku juga suka sama cerpen ini. Salah satu favorite-ku juga, dan aku enjoy banget nulis ini. Hihihi. Terima kasih ya sudah membaca! Silakan datang kembali!

  5. Tulisannya keren Dicta, kerasa bgt latar pasar terapungnya. Akh, cara balikan yg manis.
    kalau liat foto diatas jd kangen rumah…pernah ngedayung jukung sendiri, nggak? Itu keren loh 😀 apalagi kalau udah kebawa arus dan bingung ngendaliinnya gimana ==’

    1. Halo Kak Nurul! Selamat datang di blog saya ya XD
      WOW! Belum pernah. Saya pernah naik jukung, tapi belum pernah sekalipun ngedayung sendiri. Errrmh, -_- terus abis ke bawa arus Kakak bisa balik lagi enggak? Kalau saya bisa nangis di atas jukung. Hahahaha.

  6. Makasih linknya dek..
    udah ada bayangan nih kayak apa suasananya. Jadi ngebayangin pas senja gitu pasti romantis.. jadi kayak di venisia.. naik gondola keliling sungai.. #lah 😀
    hehehe~ keren dek! ^^

    1. Sama-sama Kak 😀
      Wah, pasar terapung adanya subuh atau pagi aja kak. Ini latarnya subuh menjelang matahari terbit juga. Hihihi.

      Terima kasih sudah mau baca ya kak, silakan diubek2 blog saya.

      1. waduh, gak pas dunk kalo ngebayanginnya jadi senja? Haha~ tapi mirip2 waktu subuh sama sore, semburat oranye nya itu yang bikin jatuh cinta 😀

        oke dek.. ^^

      2. Iya, asyik loh, jarang ada penulis yang ambil latar cerita subuh2 😀 Mungkin ganti latar juga bisa kak. Marauke misalnya? Kan jarang tuh ada yang bikin latar di daerah2 timur. Riset menyeluruh aja di internet 😀

      3. waduh, aku belum berani kalo Merauke dek, soalnya belum ada gambaran apa2, mungkin sering liat di teve ya yang suku pedalaman gitu, tapi ide bagus, jadi pertimbangan.. 😀

      4. hehehe~ aku suka banget korea dek. jadi lebih berani bikin setting di korea lho.. udah cukup banyak cerita yang pake setting korea.. 😀

      5. Kwkwkw, pasti suka sama k-pop/k-drama. XD saya juga suka. Dulu tercebur sama dunia perblogan dan tulis menulis gara2 nulis fanfiction. Nulis latar di luar negeri emng lebih mudah, karena yg baca jg gak tahu settingnya. Nurut apa kata kita. Tp kalau nulis dalam negeri. Wah, kalau misal saya nulis latar Medan dan gak nulis sesuai kenyataan, terus ada orang medan baca. Bisa2 saya di cecar. Hahaha. Makanya saya lebih senang ambil latar Indonesia dan daerah saya sendiri, selain lebih menantang itu ngenalin daerah sendiri ke khalayak. :3

Tinggalkan komentar