Setiap hari aku menghitung sisa bidak di papan caturku
Satu… dua… tiga…
Tiga pionku telah tandas kemarin lusa
Satu… dua…
Dua bentengku runtuh kemarin
Lalu, satu lagi…
Mentriku terancam dipancung hari ini
Aku mendengus, jengkel juga kesal
Waktu berdecit di sisiku
Tapi aku hanya bertopang dagu
Berpikir keras tentang langkahku setelah ini
Karena langkahku
Menentukan bidak mana yang akan menemui ajalnya besok pagi
“Ini sulit,” keluhku
Meratapi pasukan yang tinggal segelintir
Sejenak aku melirik
Raja gendut tua itu terlihat gemetaran
Hanya ada kuda di sisinya
Serta dua pion yang mengompol
Sedang sisa bidakku tersebar tak tentu arah
Entah ingin menyerang,
Mengancam,
Atau sekadar ada
Ah… aku memang tak pandai bermain catur
Apalagi melawan kehidupan
Aku tidak tahu strategiku
Bahkan sejak bukaan pertama
Gerakanku acak-acakan
Bunuh saja bidak di depan mata tanpa tahu itu hanya umpan
Sementara kehidupan adalah pemain pro
Ia tahu akan menghancurkanku sejak ia majukan pion pertamanya dua petak
Gerakannya begitu mulus dan manis
Dan aku pun terbuai olehnya tanpa sadar satu demi satu bidakku masuk kubur
Kini ia menyeringai
Menatapku angkuh
Dan berseloroh
“Catur bukan milik kita, Dinda, menyerahlah dan cumbui saja aku malam ini,”
Tapi aku menolak
Bosan sudah membanting papan dan menggauli bibirnya
Selalu begitu kalau aku sudah muak mencoba menaklukannya
Kali ini, aku masih punya bidak untuk dimainkan
Dan aku tak ingin menyerah
Sampai nanti kepala raja bersimbah darah di atas papan
Baru bisa dengan puas kubiarkan
Kehidupan menjajah tubuhku
Seenak jidatnya
Keren abis! Aku sampe merasa larut lho… Dikta, ini yang baca puisi siapa? kamu?
Terima kasih, iya, yang baca itu aku. Suara aku aneh ya? Macem bengek gitu. Hahahaa. Bacanya sambil tengkurep sih. Makasih ya.