Seandainya Pongah itu Kita Buang ke Laut Saja

 

Putih adalah warna kesukaan Bellatrix selain merah muda. Namun, ketika ia melihat pria itu mengenakan kemeja berwarna putih, mencukur rambutnya hingga cepak, dan menghilangkan bulu-bulu di wajahnya begitu bersih serta rapi—seperti  yang selalu ia bayangkan dalam benaknya, entah mengapa Bella merasa risih.

 Terlalu tidak biasa.

Terlalu bukan David yang ia kenal dulu saat masih menciumi pipinya dengan bibir beraroma mentol atau sesekali  berpengar alkohol.

“Sehat kau, Dek?”

Pertanyan pilon kalau tidak bisa disebut basi. Bella mendengus di dalam hati, tapi dengusan itu menyetrum debaran jantungnya yang entah sudah berapa lama mati suri.

“Sehat, Bang,” sahut Bella ringkas, “Abang gimana?”

Bibir yang membiru akibat kecanduan nikotin menahun itu menyunggingkan senyum dan Bella tahu betul debaran di dadanya semakin memburu.

“Abang sehat, Dek,” kata David tenang. Sulit untuk menebak apa debaran yang Bella rasakan sekarang juga dirasakan oleh pria itu atau tidak. “Sudah berhenti merokok aku sekarang.”

Informasi tidak penting, Bella menggerutu di dalam hati. Meski tak urung ia merasa senang akan hal itu.

“Kalau minum, Bang?” tanyanya tanpa sungkan, naluri ingin tahu yang besar selalu menghantarkannya pada pembicaraan-pembicaraan tidak penting lainnya.

David terkekeh, getaran suaranya begitu merdu di telinga Bella. “Sesekali aja, Dek, kalau lagi jalan sama teman.”

“Jangan kebanyakan minum, Bang. Abang sudah gak muda kayak dulu lagi, loh!” terkutuklah bibir cerewet Bella yang termasyur itu. Memang dia siapa? Apa statusnya? Apa haknya?

“Ah, masih cerewet saja kau, Dek.” David kembali tertawa. Oh, adakah rindu yang terselip di antara tawa itu?

“Hehehe, susah hilangnya, Bang.” Cengiran Bella menghiasi wajah, disusul tawa kecil dari masing-masing bibir yang dulu pernah berpagutan begitu mesra.

Beberapa detik berlalu, tawa kecil itu mereda secepat ia datang, lalu hening menduduki suasana. Dilatari sudut kedai kopi, senja lembayung di Pantai Kuta, musik jazz zaman dulu,  gelas-gelas yang berdetingan, dan suara-suara perbincangan yang seolah-olah saling sahut menyahut dari meja yang satu dan yang lainnya, kisah pertemuan sepasang mantan kekasih ini tampaknya seperti sebuah cerita pendek yang ditulis dipenghujung malam oleh seorang penulis kesepian atau mungkin seorang sahabat yang prihatin. Oh, entahlah, suka-suka saya. Namun, hanya ada satu hal yang pasti dari pertemuan ganjil di dalam kisah ini.

Bella tahu ia merindukan pria itu—lama sekali—hingga dirinya sendiri lupa bagaimana rasanya merindu. Sepercik momen tentang hubungan singkat mereka yang hanya bertahan tiga bulan itu tidak memungkinkannya untuk menyimpan kenangan terlalu banyak seperti cinta pertamanya yang bertahan selama tujuh tahun dulu. Namun, kehadiran David dalam kehidupan Bella terlalu menyakitkan juga membahagiakan untuk dilupakan.

 Pria itu datang dengan cara yang tidak biasa. Menjungkirbalikan perasaan serta logika sistematis golongan darah A yang selalu menutut segalanya serba sempurna milik wanita itu menjadi prinsip-prinsip tidak berguna. Bella merasakan pengalaman mencintai dan dicintai yang tidak biasa karena Sang Idola Kampus jurusan teknik sipil itu dibuat tak berdaya akibat keurakan abadi serta jiwa bebas pria itu tak bisa dikendalikan. Lidah galak wanita itu pun terbungkam oleh rasa sayang. Ibarat macan betina yang telah menemukan pejantannya, Bella memasrahkan dirinya menjadi wanita yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Oh, tersiksakah ia? Tentu saja.

Namun, cinta yang tidak biasa itu membutakan segalanya.  Perhatian-perhatian kecil yang mungkin lebih kecil dari kecil, terasa begitu berarti ketika Bella mendapatkannya; ciuman penuh gairah serta pelukan mesra yang terasa begitu asing di tubuhnya menghadirkan getaran luar biasa berskala gempa ; dan masih banyak lagi kasus-kasus penting yang sepertinya menutupi segala kekurangan pria itu di mata Bella. Saya kira mengisahkan hal itu akan membuat momen kilas balik ini menjadi membosankan untuk dibaca atau mungkin juga terlalu menyakitkan untuk dikenang kembali.

Toh, semuanya telah berakhir, bukan?

David memutuskan Bella dengan cara sangat terhormat—melalui pesan singkat bermedia smartphone. Oh, tersanjungkah Bella? Sangat. Bella tak pernah memutuskan hubungan. Ia selalu menjadi yang pertama mengucapkan kata terkutuk itu bagi semua pria yang numpang lewat di hidupnya. Terlalu berego untuk bernegosiasi mencari jalan keluar lain selain berpisah, Bella menyetujui keputusan itu dengan gagah berani tanpa memikirkan efek dramatis setelahnya—tangisan diam-diam dalam lagu-lagu yang diputar setiap malam, nyanyian cempreng yang menghantarkan neraka kecil bagi seluruh penghuni rumah, senyuman-senyuman palsu, tawa-tawa palsu, status-status sok bahagia seperti ‘I’m single and very happy’ yang mengundang pria lain menyapanya kembali, oh dan sebagainya, dan sebagainya…

Bella tak membiarkan kesedihan muncul dipermukaan. Wanita itu menelannya seperti pil pahit yang ia pikir dapat menyembuhkan patah hati. Namun, nyatanya?

Sembuhkah hati itu?

Saya tidak tahu. Mungkin iya, karena waktu yang terus bergulir selalu menjadi  motivasi orang-orang untuk melanjutkan hidup dan melupakan masa lalu. Mungkin juga tidak, karena setiap luka menyisakan bekas yang tak pernah hilang sampai kubur memisahkan raga serta roh. Yah, lagipula kisah ini bukan tentang spekulasi-spekulasi tidak penting seperti itu. Ini hanyalah sebuah kisah sederhana tentang pertemuan kembali antara kenangan dan kenyataan yang tampaknya berjalan tersendat-sendat karena saya mencoba menjelaskan beberapa kenangan yang seharusnya dapat dituntaskan dengan cara yang sangat sederhana: saling memahami.

“Sudah lama ya, Dek.” David mengusir hening, membuat Bella tersentak, dan bangkit dari dimensi ruang-waktu yang hanya dirinya sendiri yang mengerti.

“Iya, Bang. Sudah tujuh tahun.  Gak berasa ya, Bang.” Bella memaksakan senyum sekarang, debaran di dadanya hilang, berganti desiran dingin yang menyakitkan.

“Tinggal di sini enak, Dek?” David menatap mata Bella lekat tanpa berkedip. Seolah-olah bukan pertanyaan receh  seperti itu yang ia tanyakan.

“Gak ada yang gak enak di Bali, Bang. Semuanya enak.” Senyum masih tertoreh di wajah manis itu. Secara otomatis terpampang berkat latihan seumur hidup dan dedikasi pada keramah tamahan yang tak pernah ia khianati sebagai perempuan yang lahir di tanah Jawa.

David termenung beberapa detik. Bella dalam benaknya adalah wanita yang selalu pandai berdusta tentang perasaan. Sama seperti dirinya.

“Sudah sembuh hatimu, Dek?” David menusuk sembilu. Mengakhiri percakapan tak penting serta basa basi pilon demi kesopanan di awal pertemuan. “Tuntas sudah galaumu?” imbuhnya lagi, seakan belum cukup mempertegas pertanyaannya.

Bibir Bella bergetar; ada air yang mendesak naik ke permukaan mata bulatnya. Namun, lagi-lagi tertahan oleh ego serta harga diri yang menjadi tameng terkuatnya.

“Sudah, Bang.” Senyum Bella terlihat ganjil.

“Belum ya, Dek.” Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan.  David menyunggingkan senyum yang sama ganjilnya dengan Bella.

“Maafin, Abang.” David meraih jemari Bella yang terpaut di seberang meja dan membiarkan gestur itu menunjukkan kesungguhannya. “Abang waktu itu takut sama kau, Dek.”

Bella membungkam suaranya, tak mencoba mengorek pertanyaan. Ia yakin suara yang keluar adalah pintu gerbang tangisannya.

“Abang belum siap jadi pendamping perempuan sebaik kau. Abang ini bajingan, Dek. Malang kali nasip kau kalau punya pacar kayak Abang.”

“Abang tahu apa soal perasaanku?” sebulir air mata leleh tepat setelah Bella membuka mulutnya, namun ia membiarkan angin Pantai Kuta menyapu air mata itu pergi.

“Abang tahu, Dek. Abang tahu semuanya.” David meremas jemari yang dulu selalu ia ciumi diam-diam kala Sang Pemilik tertidur di kamar kosannya. “Makanya Abang relakan kau.”

“Abang egois,” kecam Bella.

“Memang, Dek.” David menyeringai. “Gak pantas buat kau.”

“Kenapa Abang yang memutuskan apa yang pantas untukku?”

“Abang yang memutuskan apa Abang pantas untuk kau atau tidak.”

Bella terdiam; meredam isak, meredam tangis. Ia punya banyak sekali pertanyaan yang telah dipersiapkan selama bertahun-tahun untuk momen seperti ini. Namun sekarang semuanya luluh lantak tak bersisa, entah hilang kemana.

“Maafkan Abang baru bisa ajak kau ketemu sekarang.” David melepaskan genggaman tangannya—melepaskan pula beban di hatinya. “Baru ada waktu.”

“Bohong,” sambar Bella. “Bilang aja Abang nyesal!”

David tertawa hambar; menanggapi tuduhan  itu tanpa berkata-kata.  Bella lantas mengusap air mata yang terlanjur meleleh secepat kilat, manarik napas dalam-dalam, menuntaskan tangis yang terlanjur tampak.

“Mau kau maafkan Abang, Dek?”

Bella terdiam, memandang pria terakhir yang pernah ia percayakan masa depan serta khayalan tentang ‘suatu hari nanti’ itu dengan gamang.

“Ya udah, aku maafin.” Singkat saja kalimat itu, terdengar ketus dan tak tulus. Namun, Bella tahu beban menahun itu telah larung menuju lautan. Lega.

“Terima kasih, Dek.” David tersenyum, begitu lebar dan menawan. Kebahagiaan terpancar di sana. Namun momen itu tak bertahan lama,  manik mata pria itu melirik jam. Penerbangan satu jam lagi. Ia harus pergi. Ada banyak pesta yang menantinya di pulau lain.

“Dek, Abang pergi ya. Nyusul pesawat.”

David bangkit dari kursinya. Bella diam tak bergerak—bertopang dagu, menatap lautan, dan merenungi jalan hidupnya yang lalu dalam hitungan detik.

“Seandainya pongah itu kita buang ke lautan, Bang.” Bella menatap nanar matahari yang tinggal separuh di ujung horizon. “Seandainya aku tak setuju diputuskan. Seandainya aku mau sekali lagi mengalah dan Abang mau sekali saja bertanya tentang perasaanku sesungguhnya.

“Apa ceritanya akan berbeda, Bang?”

David memalingkan wajah pada langit-langit kedai kopi. Ia tersenyum perih.

“Mungkin saja, Dek.”

Hening.

“Baik kah dia, Bang?” Bella diam sejenak, menyusun kata-kata. “Calon istrimu itu, Bang. Lebih baik dia dariku?”

David mengenang pertemuannya dengan wanita baru itu. Sosok yang menurutnya tak lebih sempurna dari wanita yang ia sesali bertahun-tahun ini, namun tentu saja…

“Iya, Dek. Lebih baik,” jawab David mantap. “Dia gak secerewet kau,” imbuhnya lagi, mengundang tawa kecil di bibir Bella dan bibirnya sendiri.

Lalu dalam hening yang perlahan-lahan menggantikan tawa. David melangkah pergi, menyisakan kehadirannya yang ganjil serta kisah tentang pertemuan konyol  berisi pembicaraan tidak penting akan masa lalu di belakang punggungnya.

Meninggalkan Bella yang kini tidak tahu, apa ia masih memiliki hati untuk mencintai sekali lagi atau tidak.

End

Note:

Kesamaan nama karakter atau tempat hanya kebetulan semata, mungkin si Penulis sedang kehabisan ide dan menjadikan kisah Anda sebagai bahan pokok. Selamat menggalau.

Tinggalkan komentar