[Heaven Series] Potongan 3: The Man Who Holds The Key

Aku memandang gerbang besar berwarna abu-abu itu dengan pandangan nanar, telah lama kami berkawan dan tak sedetik pun aku meninggalkannya. Banyak kisah yang telah kami saksikan bersama, banyak pula air mata yang diam-diam mengalir dari mata-hati kami. Meskipun setiap masa yang berlalu selalu diisi dengan keheningan tanpa suara, aku tahu, kami selalu menemukan cara untuk berbagi rasa.

Ah,  tidakkah aku jenuh?

Tidak. Aku sangat menikmati pekerjaanku. Sungguh.  Tak ada pekerjaan yang lebih menyenangkan ketimbang apa yang tengah aku lakukan sekarang ini. Meskipun kadang kala…

“Peter,”

Aku tersentak, seketika itu juga aku berbalik ke belakang dan mendapati  sepasang makhluk cahaya telah berdiri di sana; salah satu di antara mereka menggendong seorang bayi. Dan entah mengapa, setiap kali aku melihat pemandangan itu, hatiku langsung mencelus.

“Ia dibunuh ibunya sendiri.” Makhluk cahaya itu memulai kisahnya.

“Jantungnya telah berdetak, ia bahkan sudah bisa merasakan kehangatan ibunya. Namun ia dibunuh tepat saat ia mulai tumbuh dan siap untuk benar-benar hidup.” Ia diam sejenak, menatapku lekat-lekat.  “Kau tahu, Peter, ia bahkan belum sempat melihat cahaya pertamanya.” Sorot mata makhluk cahaya itu berubah sendu, tak kuasa menahan kesedihan hatinya atas apa yang lagi-lagi ia alami

 Aku diam saja, kupandangi  jiwa mungil yang menggeliat di pelukan makhluk cahaya itu. Oh, aku selalu berharap tak ada lagi jiwa-jiwa tak berdosa seperti ini hadir di depan gerbangku. Tapi siapa aku? Aku hanya seorang penjaga pintu gerbang, si pemegang kunci, sementara manusia-manusia itulah yang menjalani hidup.

“Bagaimana keadaan ibunya, Gabb?” tanyaku, sembari mengambil jiwa itu darinya, kemudian mendekapnya di dalam tanganku.

“Kuharap wanita itu kuat dan tak buru-buru menyusul jiwa mungilnya ini,” jawab makhluk cahaya itu, berusaha terdengar netral meski dapat kudengar nada sinis di suaranya, “rasa bersalah akan membuatnya depresi dan menghantuinya seumur hidup, kemudian…”

“…kemudian dia melakukan dosa keduanya, yaitu bunuh diri? Oh, Gabb, berhenti menggerutu!” potongku buru-buru, kemudian terkekeh pelan ketika menyadari kalau makhluk cahaya itu merasa tidak senang karena aku memotong kata-katanya. Partner-nya—yang memang tak begitu suka bicara—memandangku dengan tatapan berterimakasih, aku tahu ia kadang kala lelah dengan sikap makhluk cahaya yang satu ini.

“Dengar Gabb, rasa bersalah sudah cukup sebagai konsekuensinya,” kataku lagi sembari mengalihkan perhatian pada jiwa mungil yang sedari tadi tertidur nyenyak; tak menyadari kalau hidupnya telah berakhir sebelum ia sempat  menjalaninya.

“Manusia tak pernah tahu betapa ajaibnya diri mereka.” Kuusap wajah jiwa dalam dekapanku itu dan ia pun tertawa dalam tidurnya. “Ketika ada dua tubuh yang menjadi satu dalam sebuah ikatan suci, dari mereka akan muncul kehidupan baru yang selalu menanti kapan saatnya mereka mampu memiliki hidupnya sendiri. Tapi sayangnya, ketidaktahuan itu membuat mereka memiliki pikiran sempit dan menganggap sesuatu yang belum terlahir di dunia ini bukanlah sebuah kehidupan.”

Aku mengangkat wajahku dan menatap kedua makhluk cahaya yang berada di hadapanku itu secara bergantian.

“Bukankah itu menyedihkan?”

Mereka diam, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka berdua meski kutahu mereka pun merasakan hal yang sama. Dan beberapa saat kemudian, makhluk cahaya yang sejak awal membungkam mulutnya akhirnya mengakhiri pertemuan ini.

“Kami harus pergi, Peter,” katanya tenang, ekspresi wajahnya tak berubah sementara satu tangannya menepuk bahu kawannya yang rasanya masih enggan untuk beranjak. “Masih banyak hal yang harus kami selesaikan,” katanya lagi. Dan akhirnya, mereka pun pergi untuk kembali bekerja. Meninggalkanku dengan sesosok jiwa mungil dalam dekapan.

Sepeninggal makhluk-makhluk cahaya itu, aku pun berbalik, sekali lagi menatap gerbang abu-abu yang masih setia mendengar seluruh kisah yang terlontar di hadapannya. Pelan-pelan kutujukan senyumku padanya; miris dan getir.

Ya, benar. Di saat-saat seperti inilah aku merasa pekerjaanku ini begitu berat. Membuatku kembali bertanya-tanya: tidakkah mereka tahu apa yang telah mereka perbuat ini?

Untuk yang kesekian kalinya, mata-hatiku kembali menangis.

4 respons untuk ‘[Heaven Series] Potongan 3: The Man Who Holds The Key

  1. Halo, dek. Maaf ya baru bisa mampir 😦 cerita Heaven Series ini manis deh, ya bukan manis dalam arti cinta-cintaan ya. Entah kenapa setiap serinya yang bercerita tentang malaikat ini tidak langsung menegur manusia. Ada maknanya walaupun ceritanya singkat. Dan saia jadi keinget tentang seminar kemarin, tentang ibu-ibu muda yang melakukan aborsi. Aduh, hati ini miris banget liatnya. Wujud udah berbentuk baik, tapi kakinya luruh separuh. Sepertinya sama kae yang kamu ceritakan di sini, tentang seorang bayi yang belom melihat cahaya pertamanya. Padahal dia udah siap untuk keluar dari mulut rahim. Sedih deh melihat kenyataan yang kae gini.

    Oya, dek ada masukan dari saia tentang ‘gerbang sewarna abu-abu’ er… ini kok dibacanya kurang enak ya. Bagaimana kalau ‘gerbang berwarna abu-abu’ karena biasanya ‘sewarna’ itu dipakai buat dua benda yang dibandingkan. Sedangkan di sini sepertinya warna abu-abu berdiri sendiri. Terus, ada kata ‘kuhujukan’ pada kalimat: Pelan-pelan kuhujukan senyumku padanya; miris dan getir. ‘Hujukan’ seharusnya ‘tujukan’ bukan?

    Keep writing, dek 🙂

    1. Roger Kakak! 😀 udah diperbaiki, semoga kedepannya tulisan saya bebas dari kata-kata aneh bin enggak masuk akal ya. kwkwkwkw.

      Iya, sedih banget itu loh, saya juga bikinnya sambil bayangin kalau misalnya dalam sehari anak-anak yang diaborsi itu ratusan bahkan ribuan di dunia ini. Begitu banyak jiwa yang hilang. \(T0T)/

      Terima kasih sudah membaca ya Kak, 😀 semoga suka.

Tinggalkan komentar