[Oneshot] Loving You Was Red

Loving You Was Red

Title                       :               Loving You Was Red

Author                  :               Benedikta Sekar (Dictavip)

Cast (s)                 :

-Park Jung Min (SS501)

-Lee Soon Hye/Sonia (Sonia Luice Andreta’s OC)

-Kim Yesung (Super Junior)

Lenght                  :               Oneshot—1756 kata

Genre                   :               Romance, Angst, Fluff

Rate                       :               G

Disclaimer           :

Saya tidak mengambil keuntungan apa pun dalam pembuatan fanfiksi ini, dalam bentuk yang atau pun materi. Semua cast bukan milik saya, namun plot dan cerita murni dari imajinasi saya sendiri.

“Merah.”

Sonia menjawab bahkan sebelum petugas salon menanyakan warna yang ingin dipilih untuk menuntaskan sesi manicure pedicure-nya.

“Ingin diberi warna lain atau—“

“Merah,” potong Sonia lagi, “merah saja. Hari ini aku ingin merah.”

Petugas salon tersebut pun tersenyum, lantas melanjutkan pekerjaannya dengan mewarnai kuku-kuku pucat Sonia dengan kuteks merah.

“Anda baru di sini?” tanya Sonia dan petugas itu mengangguk.

Ne, saya baru bekerja dua minggu yang lalu,” jawab petugas itu sembari tersenyum; Sonia mengangguk-angguk mengerti.

Pantas ia tidak tahu hari ini hari apa, gumam Sonia dalam hati, seraya tersenyum dan bersenandung menirukan suara manis Taylor Swift—penyanyi yang beberapa tahun terakhir ini menjadi salah satu nama wajib di playlist mp3-nya.

 

***Loving him is like driving a new Maserati down a dead end street***

“Jung Min akan menjadi, ­oppa-mu, Soon Hye.” Park Sang Jun, ayah Sonia, menepuk bahu seorang pria di sampingnya lantas tersenyum hangat kepada putri tunggalnya, “baik-baiklah dengannya.”

Sonia memaksakan senyum sembari mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat kakak tirinya itu. “Park Soon Hye, senang berkenalan denganmu.”

“Hei, boleh aku memanggilmu dengan nama Sonia?”

Sonia terkesiap dengan mata membulat, dari mana pria ini tahu nama pemberian ibunya itu? Sonia ingin menggeleng dan menampar wajah pria itu karena seenaknya saja memanggilnya begitu—hanya ibu kandungnya yang boleh memanggilnya dengan nama Sonia. Tapi kondisi yang tak memungkinkan akhirnya memaksa wajah bulatnya naik turun, setuju dengan permintaan itu.

“ Senang akhirnya aku mengenalmu, Sonia.”

Jung Min menggenggam erat tangan Sonia; menjabatnya dengan cara yang berbeda dari yang pernah dirasakan gadis itu. Sonia kembali terheran-heran pada sosok di hadapannya itu. Sejak kapan ia bisa merasakan…

kehangatan?

 

***Loving him is like trying to change your mind***

Sonia melangkahkan kaki jenjangnya di lantai marmer COEX Mall lantas mempercepat langkahnya menuju tempat butik langganannya berada. Waktunya tak banyak, satu jam lagi ia harus sudah siap.

“Soon Hye!” Pemilik butik tersebut memberikan pelukannya tepat ketika sosok Sonia muncul di pintu butiknya.

Annyeong, Chaerin Onni,” sapa Sonia, sembari melepas pelukan wanita bernama Chaerin itu. “Apa kabarmu?”

“He, lupakan basa-basi. Aku sudah menunggumu dari tadi, Soon Hye-ah!” kata Chaerin sembari buru-buru menarik tangan Sonia menuju bagian dalam butik tempat desainer busana ternama itu bekerja.

“Aku memberikan yang terbaik untuk gaun ini, semoga kau suka.”

Sonia terperangah, napasnya seakan tersendat-sendat tatkala manik tembaganya menatap sebuah gaun merah berbahan satin telah terpampang jelas di hadapannya. Payet bunga menghiasi bagian ujungnya yang hanya sepanjang lutut serta bagian pinggang hingga perut. Bagian bahu gaun itu terbuka, hanya di tutupi sepasang tali kecil berwarna senada.

“Ayo kemari, Soon Hye, pakailah.”

Sonia tersenyum lebar, namun air mata menggenang di pelupuk matanya hingga tanpa sadar ia menghambur ke pelukan Chaerin.

“Terima kasih, Onni!”

***Touching him is like realizing all you ever wanted was right there in front of you***

 

Oppa, aku mencintaimu,”

Sonia menggenggam erat tangan Jung Min yang tengah menggandengnya mengitari taman kampus mereka. Hanya ada mereka di sanasemesta sepertinya tengah berkoorporasi menciptakan suasana seperti ini di antara mereka—bersama angin musim gugur dan remahan daun kering yang menari. Tentu, hal-hal romantis seperti itu membuat Sonia tak dapat membelenggu perasaan yang selama ini ia sembunyikan.

Sejak bertemu dengan Jung Min, Sonia tahu bahwa pria itulah satu-satunya orang yang mampu mengubah hidupnya.

Sonia maju dan memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat hingga matanya dapat bertautan dengan pria itu; menunjukkan kesungguhan dari kata-katanya.

Oppa mencintaiku ‘kan?” imbuhnya penuh percaya diri. Ia tahu benar mata tembaga milik Jung Min itu selalu menunjukkan kilatan yang sama, dan sentuhan serta prilaku Jung Min telah mengungkapkan segalanya.

 Hanya saja mereka berdua terlalu pongah untuk mengakui perasaan.

Jung Min diam, membuang wajahnya pada pematang jalan—tak sanggup lagi berbohong hingga ia hanya bisa menghindar.

“Sebenarnya apa yang menahanmu untuk mengaku, Oppa?” Sonia mengeratkan genggaman tangannya, tak terima diperlakukan seperti itu. Ia perlu penjelasan.

Oppa!” Sonia mulai tak sabaran, ia tak sanggup lagi digantung sedemikian rupa oleh pria itu. Dicengkramnya bahu kokoh Jung Min dan memaksanya untuk bersetatap. Oppa!!Jawabaku!”

Sreet!

Mianhae, Sonia…”

Jung Min merengkuh tubuh Sonia ke dalam pelukannya, membenamkan wajah gadis itu di dadanya yang lebar dan berharap waktu berhenti untuk selamanya.

Mianhae, karena telah membuatmu jatuh cinta padaku.”

 

***Memorizing him was as easy as knowing all the words to your old favorite song***

 

“Stay…  Stay… Stay… I’ve been lovin’ you  for quite some time, time, time…”

Sonia melangkah dengan ceria menyusuri Jalan Apgujeong. Salah satu butik yang ia lewati memutar salah satu lagu dari album teranyar penyanyi favorite-nya hingga tanpa sadar ia melangkah sembari bersenandung.

Tubuh Sonia yang kini telah berbalut dress merah bergerak lincah di trotoar, memicu decak kagum beberapa orang serta lirikan mata terkesima. Beberapa orang mungkin mengira Sonia sedang melakukan syuting iklan, tapi yang ingin ia lakukan sekarang hanyalah melangkahkan kaki menuju persimpangan jalan dan mendatangi sebuah toko bunga untuk mengambil pesananya.

“Kim Ajjhuma!” seru Sonia tepat di depan pintu toko bunga bertitel ‘Rainbow’ itu.

Seorang wanita berambut pirang keluar sembari membawa sebuket mawar merah di pelukkannya, senyum cerahnya menandingi indah bunga-bunga berbagai warna di sekitarnya; dan setiap kali Sonia melihat senyum itu, perasaanya selalu merasa semakin baik—yah, hal itu pun tak hanya dirinya sendiri yang merasakannya.

Hello, sweet heart!” sapa wanita itu dengan bahasa kelahirannya sembari mencium pipi Sonia. “Kau agak terlambat kali ini. Kupikir kau sudah lupa,” imbuhnya, lantas memberikan buket mawar di pelukannya pada gadis itu.

Sonia tergelak lantas menggeleng-gelengkan kepala. “Bagaimana mungkin aku bisa lupa? Hari ini hari yang penting untukku.”

“Oh, kalau begitu cepatlah, hari kian sore. Aku tak ingin melihatmu berkeliaran dengan pakaian seperti itu di jalan-jalan. ”Kim Ajjhuma tertawa, sembari mengiringi Sonia keluar dari toko bunganya.

“Baiklah, baiklah, aku akan pergi, sampai jumpa, Kim Ajjhuma!” Sonia mengecup pipi wanita paruh baya itu sebelum akhirnya berbalik untuk pergi.

“Er, Soon Hye!”

Belum sempat Sonia melangkah lebih jauh, Kim Ajjhuma memanggilnya kembali, sontak ia pun berbalik dan kembali bersetatap dengan wanita itu.

Ne, Ajjhuma?

“Kalau kau tak keberatan.” Kim Ajjhuma menggigit bibir bawahnya; tampak sangsi dengan apa yang ingin ia katakan, “emmmh, tolong sampaikan salamku, dan katakan  kalau aku sangat merindukannya. Maaf, tidak bisa sering-sering mengunjunginya.”

Sonia menarik bibirnya ke atas; tersenyum apa adanya.

“Tentu, aku pasti akan menyampaikannya.”

***Fighting with him was like trying to solve a crossword and realizing there’s no right answer***

 

Plak!

“Katakan kalau apa yang Appa katakan itu bohong!”

Jung Min tak mampu bersuara, tamparan keras Sonia tidak hanya terasa sakit di wajahnya, tapi juga di hatinya. Tak ayal ia hanya dapat berpasrah diri, menanti kelanjutan tangan-tangan gadis itu mendera tubuhnya yang hina.

OPPA! Itu semua bohong ‘kan?! Iya ‘kan?”

Air mata Sonia meleleh tak henti, isakannya tertelan oleh bentakan yang ia coba terus keluarkan—mengutuki kenyataan yang ia harap hanyalah sebuah ilusi. Namun, lambat laun kesedihan merongrong jiwanya. Membungkam seluruh suara hingga yang tersisa hanyalah elegi perasaannya.

“Tolong…” Sonia ambruk ke lantai, bersimpuh dengan tubuh menggigil, ”tolong… tolong… tolong jangan bilang… kalau kita…”

Jung Min tak kuat lagi, ia berlutut dan menarik Sonia dalam pelukannya; berusaha memberikan ketenangan yang biasa ia berikan pada gadis itu.  Namun, Sonia meronta, menjerit dan memukuli Jung Min dengan seluruh sisa tenaganya. Ia sedang tak ingin dihibur oleh siapa pun, terutama Jung Min; orang yang menjadi penyebab utama mengapa ia menangis histeris di kamar itu.

“Jangan sentuh aku! Jangan sentuh aku!” jerit Sonia tak terkendali, ia telah muak dengan dunia ini. Tak pernah ia merasa sesakti ini sejak kematian ibunya, tak pernah.

“Jangan sentuh aku, kubilang! Kenapa Oppa tak bilang sejak awal kalau kit—ummmh…”

Melihat Sonia yang tak kunjung bungkam, Jung Min gelap mata; yang kini ia rasakan hanyalah betapa perasaannya meluap-luap untuk gadis di hadapannya ini dan berharap tangisan itu berhenti bagaimana pun caranya. Dan satu-satunya cara yang terlintas di kepalanya hanyalah membungkam bibir merah ranum itu dengan bibirnya—menekan bibir mereka menjadi satu.

Namun, Jung Min tak serta merta melakukan hal itu hanya untuk membuat Sonia berhenti menangis. Perasaan jujurnya untuk gadis itu pun berperan aktif dalam setiap lumatan dan kecupan yang ia beri. Karena tanpa suara, Jung Min ingin memberi tahu Sonia kalau ia merasakan hal yang sama.

“Op-Opp…ah….”

Sonia berhasil memberi jarak di bibir mereka, sementara kepalan tangannya masih berjuang untuk memerdekakan tubuhnya dari seluruh prilaku Jung Min. Tapi pria itu dengan cepat merapatkan tubuh mereka, hingga tak ada ruang lagi yang tersisa bagi Sonia untuk bergerak, selain menerima semuanya—memasrahkan diri pada perasaan yang selama ini menguasanya.

Karena untuk sesaat saja, Jung Min mau pun Sonia ingin melupakan kalau sebenarnya mereka…

Memiliki ayah yang sama. 

 

***Regretting him was like wishing you never found out love could be that strong***

 

“Kenapa sejak awal Oppa tidak bilang kalau kita sebenarnya bersaudara?”

Karena eomma yang memintaku begitu.

“Kenapa kau baik padaku?”

Karena aku ingin.

“Lalu, apa kau mencintaiku?”

Ya.

“Tapi sejak awal kau tahu kita bersaudara.”

Aku tahu, maka dari itu aku hanya menunjukkan perasaanku dengan tindakan.

“Jadi, itu sebabnya Oppa selalu memberiku barang-barang berwarna merah? Gaun rancanganmu—maksudku, replika gaun rancanganmu yang dulu terbakar, kini kukenakan. Oppa suka?”

Warna merah cocok untukmu. Suatu hari nanti, aku ingin melihatmu mengenakan gaun merah rancanganku.

 “Jadi, kenapa sekarang kau pergi? Bukankah kita sudah sepakat untuk berhenti saling mencintai?”

….

Rahang Sonia mengeras. Menatap pusara di hadapannya dengan nanar. Seluruh kenangannya bersama Jung Min telah mampu menjawab pertanyaan yang ia utarakan  pada udara sedari  tadi, tapi hanya pertanyaan terakhir yang tak pernah mampu terjawab oleh Jung Min dan kenangannya.

Kenapa pria itu harus pergi?

“Kim Ajjhuma bilang kalau dia merindukanmu,” kata Sonia sembari berjongkok dan mengusap lembut ukiran pudar di pusara itu. “Aku… juga merindukanmu, Oppa… Sangat merindukanmu.”

Sonia menatap lekat-lekat batu marmer berwarna abu-abu di hadapannya. Ia bisa membaca dengan jelas nama yang tertera di sana—dan masih sulit mempercayai dengan apa yang ia lihat. Air mata menggenang di mata bulat Sonia, lambat laun semakin tembal hingga akhirnya merembes ke pipinya dan menguasai emosinya.

Hanya untuh hari ini, dalam 365 hari; Sonia menangisi perasaan cintanya yang membuat Tuhan sadar, satu-satunya cara agar bidah itu tak dilanggar adalah memisahkan Sonia dengan orang yang ia cintai…

Membunuh Park Jung Min,

Dalam  kecelakaan mobil.

Ketika pria itu ingin memberikan,

hadiah ulang tahun untuk gadis yang ia cintai.
Sehelai gaun merah rancangannya sendiri.

….

..

.

***Burning red! Darling it was red!***

 

Drrrrt…Drrrrt…

Yoboseyo?”

“Kau sudah pulang, Soon Hye?”

Yeah, baru saja,”

“Heee, ada apa dengan suaramu? Kau menangis lagi?”

“…”

“Tak mengapa, aku mengerti,”

Gomawo, Yesung-ah.”

“Oh ya, besok pagi kujemput kau di rumah. Bersiaplah, eomma menunggumu di butik yang kemarin.”

“HEH?! Gaun pernikahan lagi?! Yang benar saja? Aku sudah mencoba sepuluh gaun kemarin!”

Fin.

Special for Sonia Luice Andreta

9 respons untuk ‘[Oneshot] Loving You Was Red

  1. Alur favoritku.. 😀 suka..
    Dan jalan cerita favoritku juga.. Cinta terlarang.. Aku suka.. 🙂 yg dibikinin FF pasti senyum” smbl teriak” sendiri :p

  2. Nyesek. Selalu begini kalau menyangkut masalah cinta-bersaudara-tanpa-memiliki. Huhuhu, sukses bikin nyaris nangis nih Kak–mengingat lagi di ruang tamu, agak malu kalau sampai nangis. Semoga Sonia dapat menjalani kehidupannya dengan baik 😀 semangat Kak!

  3. Awalnya kaget bgt waktu Sonia nampar,, hah nampar Appa nya? Tp trnyta itu typo ya… Hehehe….
    Seperti biasa,, ceritanya selalu daebak ^^

Tinggalkan komentar